Pancasila sebagai Jiwa Bangsa

pancasilaTepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, 72 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dihadapan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang di ketuai oleh dr.Radjiman Wedyodiningrat, Ir. Soekarno menyampaikan pidato menawarkan gagasan yang tepat untuk dasar Negara Republik Indonesia Merdeka. Di dalam pidatonya tersebut Ir. Soekarno menawarkan gagasan Pancasila sebagai Philosopische groundslagh (dasar Negara), Pancasila tersebut berisi tentang lima dasar prinsip yang menurutnya adalah sebagai falsafah dasar yang dapat menjadi alat untuk mempersatukan dari sabang sampai merauke.

Berdasarkan logika penggaliannya makna dan nilai Pancasila dideskripsikan oleh Ir Soekarno sebagai kristalisasi tabiat hidup bersama dari rakyat Indonesia yang mewujud dalam tradisi kolektif dan erat berhubungan dengan pandangan kosmologis. Yang kemudian dalam pidatonya tersebut dikatakan jikalau apa yang terkandung di dalam Pancasila yang terdiri dari lima hal tentang prinsip dasar tersebut masih terlalu banyak maka menawarkan untuk diperas menjadi sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang disebut dengan Tri Sila. Bahkan kalau kemudian masih dirasakan masih terlalu banyak bisa cukup dengan Ekasila yaitu Gotong Royong.

Maka, secara substansial pidato Ir. Sukarno tentang dasar Negara Pancasila merupakan kehendak untuk merumuskan dasar Negara Republik Indonesia Merdeka, sebagai penopang eksisitensi yang juga dapat memberikan ruang partisipasi bagi seluruh golongan dan kemajemukan bangsa. Sehingga, dalam kontek itu Pancasila menunjukan juga tujuan, yaitu selain das sollen (seharusnya) juga sebagai das sein (realitas) ideal bangsa Indonesia yang hendak dituju, yang tidak akan terwujud tanpa perjuangan yang khas mempunyai tantangannya dalam setiap siklus jaman.

Pancasila, sebagai falsafah dasar sesungguhnya dalam kontek ideal mencita-citakan terwujudnya harmonisasi antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial yang berlandaskan pada kesederajatan dan kebersamaan termasuk di dalamnya anti terhadap penindasan dan eksploitasi manusia terhadap manusia. Sehingga, Pancasila dalam kesehariannya akan mampu mempersatukan segala bentuk kekuatan yang dimiliki bangsa ini. Pasalnya, modal sosial keberagamaan suku,agama, ras dan antar golongan (SARA) yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia tidak dimiliki oleh Bangsa-bangsa lain dan dalam kontek sistem bernegara nampak jelas bahwa pilihan jalan yang diambil untuk Indonesia merdeka adalah demokrasi yang dijalankan kongruen (sebangun) yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Namun demikian, dalam prakteknya Pancasila ditafsirkan secara berbeda-beda. Pada Pemerintahan orde baru, Pancasila telah direduksi pemaknaannya yang hanya sekedar dijadikan sebagai legitimasi ideologis dalam menjalankan politik kekuasaannya. Pasalnya, Pancasila dengan pola penataran P-4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) dijadikan sebagai alat ketika politik dominasi Negara dijalankan dengan praktek politik represif dan penyeragaman atas nama untuk kepentingan stabilitas. Relevansinya, Pemerintahan yang berlangsung selama 30 Tahun menghasilkan generasi yang dibesarkan dalam alam pemikiran ideologis yang dipermiskin dan reduktif.

Puncaknya, dengan diperlakukannya Pancasila sebagai asas tunggal, yang dalam prakteknya memaksa setiap kekuatan politik mendasarkan operasionalnya pada Pancasila hasil tafsir dari rezim Orde Baru, yang menegasikan tafsir otentik yang lebih bermakna dan substansial. Kondisi semacam itu dipertahankan bahkan kemudian Pancasila kecenderungannya dijadikan sebagai alat pukul politik bagi lawan-lawan politik. Sehingga perbedaan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sesuatu yang nihil dan tabu.

Maka, dalam kontek perjuangan untuk mewujudkan Pancasila yang lebih bermakna dan substantif, memahami Pancasila yang telah dimanipulatif oleh rezim orde baru, sudah sepatutnya saat ini (era- reformasi) kemudian Pancasila sebagai Philosopishce groundslagh mendapatkan ruang dalam pemaknaan ulang lebih substansi tidak formalitas sehingga dalam hal implementasinya lebih kongkret, kontekstual dan menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsa Indonesia harus sadar akan perlunya toleransi dan hidup berdampingan secara damai antar umat beragama, perlunya kerukunan kehidupan antar suku bangsa dan etnik. Bukannya saling menyebarkan kebencian antar sesama entitas bangsa, Ir.Soekarno dalam pidatonya menekankan pentingnya Gotong royong yang merupakan pencerminan dari persatuan nasional kontra disintegrasi. Persatuan nasional yang dimaksud adalah kehendak untuk tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang berkedaulatan rakyat, berkeadilan sosial dan menjunjung tinggi demkokrasi, semua untuk semua.

 

Kesadaran akan pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila oleh seluruh entitas bangsa up to date, niscaya akan memberikan kontribusi untuk membangun kembali karakter bangsa yang saat ini semakin memudar. Liberalisasi politik dan ekonomi yang terjadi saat ini terkesan telah mengabaikan semangat dan tujuan Negara ini didirikan yaitu toleransi, penuh kebersamaan dan musyawarah mufakat yang kemudian muaranya adalah seperti apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 aline ke-4, melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Sehingga, dalam memahami Pancasila ada tiga hal yang dapat dijelaskan yaitu Pertama, bahwa Pancasila adalah merupakan kesepakatan para pendiri bangsa tentang staatside (konsep Negara) yang dipilih dalam bernegara dan sebagai sebuah kesepakatan Pancasila telah bersanding dengan UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika . Kedua, Pancasila merupakan pandangan hidup yang menjiwai isi batang tubuh dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 dan Ketiga, Pancasila merupakan pedoman bagi prilaku para pemimpin bangsa.

 

Para pendiri bangsa telah membuat kesepakatan terkait untuk memerdekaan Republik Indonesia dan Pancasila telah disepkati menjadi dasar Negara. Sehingga, di dalam setiap Konstitusi Republik Indonesia, baik itu UUD 1945, UUD RIS dan UUD Sementara 1950, Pancasila selalu ditempatkan dalam pembukaannya. Dan, bahkan dalam pidato Ir. Soekarno dihadapan Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 dengan judul To Build the World A New menawarkan gagasan Pancasila untuk menjadi Philosopische Groundslagh dalam kehidupan antar bangsa-bangsa.

 

Konstitusi yang berlaku saat ini yaitu UUD 1945, lima sila yang terkandung di dalam Pancasila dicantumkan dalam Pembukaaannya, hal tersebut menandakan bahwa secara substansi Pancasila menjiwai dari pasal-pasal yang ada di dalam batang tubuh UUD 1945. Sehingga kemudian, sebagai sebuah karya manusia UUD 1945 meskipun mengalami perubahan, namun jiwa dan substansinya haruslah berpedoman dan “tidak lari” dari Pancasila.

 

Pancasila sebagai pandangan hidup tentunya merefleksikan realitas rakyat Indonesia, yang begitu majemuk oleh karenanya, kemudian harus dijadikan pedoman dalam berprilaku oleh para pemimpin bangsa yang tidak hanya sekedar secara formalitas dihafalkan sila-silanya secara normative retorik. Membumikan Pancasila dalam kontek kekinian sebagai pemandu jalan bagi bangsa Indonesia menghadapi tantangan jaman adalah pilihan yang tepat. Sudah saatnya bangsa ini mengapresiasi kesepakatan para pendiri bangsa dalam meletakan pondasi negara sekaligus juga menjadikan Pancasila sebagai falsafah Negara yang menjiwai semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

1 thought on “Pancasila sebagai Jiwa Bangsa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *